Efisiensi Anggaran Tanpa Relaksasi, Pengusaha Hotel Jateng Menangis

jateng.jpnn.com, SEMARANG - Industri perhotelan di Jawa Tengah (Jateng) menghadapi ancaman serius akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.
Penasihat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jateng Bambang Mintosih menyebut kondisi ini lebih buruk dibanding masa pandemi Covid-19 karena tidak disertai dengan relaksasi kebijakan fiskal.
"Para pengusaha hotel menangis. Kalau saat Covid-19 ada relaksasi dan dukungan acara, sekarang tidak ada. Dampaknya langsung terasa," ujar lelaki yang karib disapa Benk via telepon, Selasa (11/6).
Dia menjelaskan sekitar 60 persen pendapatan hotel di Jateng berasal dari kegiatan MICE atau meeting, incentive, convention and exhibition.
Dari jumlah itu, sekitar 80 persen merupakan kegiatan yang didanai oleh pemerintah. Ketika anggaran pemerintah diperketat, perputaran uang di sektor perhotelan otomatis berhenti.
"Omzet dari MICE bisa lima sampai enam kali lebih besar dibanding tamu reguler. Ketika MICE hilang, hotel langsung terpukul," ujarnya.
Menurut Bambang, efisiensi anggaran pemerintah telah berdampak luas. Di antaranya, pemutusan hubungan kerja (PHK) pegawai harian yang sebelumnya direkrut untuk membantu saat ada kegiatan.
"Sekarang sudah tidak ada karyawan harian. Satu hotel bisa kehilangan 25 sampai 30 pekerja harian," ujarnya.
Ketika efisiensi anggaran diperketat, perputaran uang di sektor perhotelan menangis. Terlebih tak ada relaksasi.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News