Gebyuran Bustaman, Tradisi Menjelang Ramadan di Semarang, Terinspirasi dari Cerita Rakyat
jateng.jpnn.com, SEMARANG - Coreng-moreng bedak penuh warna dilaburkan ke wajah tak keruan. Corat-coret bedak dingin bercampur sumba warna-warni sebagai lambang dosa dan kesalahan itu dibersihkan lewat Gebyuran Bustaman.
Tradisi tersebut telah turun-temurun dilakukan untuk menyambut datangnya Ramadan oleh warga Kampung Bustaman di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng).
Sejarah Bustaman
Gebyuran Bustaman ini berawal dari kebiasaan tokoh kampung itu yang biasa memandikan cucu-cucunya sebelum memasuki bulan suci umat Islam itu. Gebyuran berarti siraman, adapun nama Bustaman diambil dari asma leluhur kampung itu.
Tokoh itu bernama Kiai Kertoboso Bustam. Kiai keturunan Yaman itu, menempati wilayah yang kini bernama Kampung Bustaman itu pada awal abad ke-18.
Minggu (3/3) lalu, Kampung Bustaman melestarikan tradisi gebyuran yang dimodifikasi dengan perang air. Warga di kampung yang dikenal dengan gulai kambingnya itu saling melempar air penuh suka cita.
"Kiai Bustam itu, kan, kiai kampung sini sejak 1740. Pada 1742 bangun sumur, dari sumur itu Kiai Bustam gebyur cucunya jelang puasa," kata Sesepuh Kampung Bustaman, Hari Bustaman, seusai acara, Minggu (3/3).
Gebyuran Bustaman telah berlangsung selama 12 tahun yang lalu, setelah sempat terhenti. "Tradisi ini kami bawa sampai sekarang. Kami hidupkan lagi mulai 2012," katanya.
Setiap menjelang Ramadan, di Kampung Bustaman, Kota Semarang, ada tradisi berna,a Gebyuran Bustaman. Simak kisahnya di sini.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News