PekaKota: Mengkritisi Perkotaan dari Sejarah, Arsitektur, hingga Sosial Budaya

Sejarawan J.J. Rizal juga mengangkat kritik serupa melalui kajian sejarah kota. Dalam materi bertajuk Pram dan Jakarta, ia menyoroti bagaimana kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta, masih terjebak dalam pola metropolitanisme yang diwarisi dari sistem kolonial.
"Pramoedya Ananta Toer pernah menulis bahwa kota sering kali tidak dibangun untuk rakyat, tetapi demi kepentingan segelintir elite dan pemilik modal. Hal ini masih relevan hingga sekarang," tegasnya.
Arsitektur Ugahari dan Ruang Publik yang Kian Terbatas
Di bidang arsitektur, Yoshi Fajar memperkenalkan konsep arsitektur ugahari, yaitu pendekatan pembangunan yang lebih sederhana dan berkelanjutan. Dia menyoroti bagaimana banyak proyek pembangunan kota saat ini hanya berorientasi pada keuntungan, tanpa mempertimbangkan keseimbangan sosial dan ekologi.
"Ugahari berarti membangun dengan proporsional—mengambil seperlunya, tetapi juga memberi kembali kepada lingkungan dan masyarakat," jelasnya.
Selain itu, permasalahan komersialisasi ruang publik juga menjadi perhatian dalam kelas ini. M. Sigit Budi mengungkapkan bahwa semakin banyak ruang kota yang tidak lagi bisa diakses oleh komunitas seni dan budaya karena sudah dikapitalisasi.
"Banyak komunitas akhirnya harus menciptakan ruang alternatif sendiri karena kota semakin tidak ramah bagi ekspresi seni dan budaya," katanya.
Belajar Kota dari Berbagai Perspektif
Kelas PekaKota 2025 menjadi ruang belajar alternatif bagi anak muda untuk memahami isu-isu perkotaan melalui pendekatan lintas disiplin ilmu.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News