Dua Dekade Kolektif Hysteria: Seni, Kolektivisme, dan Perjuangan Bertahan

Kolektif Hysteria yang telah eksis selama 20 tahun baru mendapatkan pendanaan dari Dana Indonesiana dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya, komunitas ini bertahan dengan sistem iuran anggota dan pendanaan sesekali yang sifatnya tidak besar dan tidak berjangka panjang.
Banyak anggota Kolektif Hysteria yang memiliki pekerjaan tetap di luar seni, seperti wartawan, pekerja call center, hingga buruh harian. Namun, ketika tiba waktunya berkarya, mereka kembali ke Hysteria untuk merancang proyek-proyek seni yang mendobrak batasan.
"Entah jadi wartawan, entah jadi call center atau tukang survei. Atau mungkin buruh harian kayak saya," ujar Yuswinardi.
Metode kerja Hysteria yang berbasis arsip juga menjadi kunci keberhasilan mereka dalam menarik pendonor. Dokumentasi aktivitas seni di kampung-kampung kota Semarang menjadi ‘senjata’ yang membedakan mereka dari kolektif lain.
"Kesadaran berkolektif harus diikuti dengan kesadaran pengarsipan," tegas Yuswinardi.
Pendekatan ini menjadikan mereka lebih siap dalam mengajukan proposal pendanaan, karena rekam jejak kegiatan mereka terdokumentasi dengan baik.
"Hasil jadi masuk kampung, pasti jadinya peristiwa. Hasil dari peristiwa itu pasti kami tulis, kami arsipkan dan kami dokumentasikan," kata Yuswinardi.
Gesekan dan Adaptasi dengan Pemerintah
Kolektif Hysteria dari Semarang kembali menyebarkan semangat manifesto Tulang Lunak Bandeng Juwana dalam kampanye kolektivisme seni dan budaya di era modern.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News