Dua Dekade Kolektif Hysteria: Seni, Kolektivisme, dan Perjuangan Bertahan

Kolektif Hysteria tidak lepas dari gesekan dengan pemerintah, terutama dalam proyek-proyek kampung kota yang mereka rintis sejak 2012. Beberapa kali, mereka menemukan bahwa riset yang telah mereka lakukan digunakan dalam program pemerintah tanpa pelibatan komunitas mereka.
Meski begitu, sesuai dengan filosofi Tulang Lunak Bandeng Juwana, mereka memilih untuk tetap fleksibel dan mencari cara berkolaborasi.
"Misalkan di Bustaman atau tempat lain, yang lama sudah kami riset, tetapi pemerintah tiba-tiba punya project, dan pihak lain tanpa mengajak Hysteria. Padahal kami yang dari awal meriset dan memegang datanya," kata Yuswinardi.
"Nah, sesuai dengan manifesto Tulang Lunak Bandeng Juwana, kami, ya udahlah. Memang seperti itu (kejadiannya). Mau bagaimana lagi," lanjutnya.
Dari sana, Kolektif Hysteria mulai mencoba untuk membuka peluang kerja sama dengan pemerintah setempat, dalam praktik kerja kolektif. Khususnya terkait wacana kampung-kota dan urbanisme.
"Karena bagaimana pun ketika kita mau mengumpulkan isu di suatu kampung, mau nggak mau harus berhubungan dengan pemerintah," jelas Yuswinardi.
Yus menambahkan perjalanan Tur Bandeng Keliling 2025 kali ini, berlabuh ke 30 titik di Pulau Jawa, Bali, hingga Asia. Program tersebut masuk dalam Event Strategis, Kementerian Kebudayaan (Kemenkebud) RI 2025, melalui dukungan Dana Indonesiana.
Rumah Banjarsari: Pemberhentian Strategis
Kolektif Hysteria dari Semarang kembali menyebarkan semangat manifesto Tulang Lunak Bandeng Juwana dalam kampanye kolektivisme seni dan budaya di era modern.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News