Kampung Bustaman: Antara Tradisi Gebyuran dan Konflik Ruang Publik

Tindakan PT Bhumi Pandanaran Sejahtera menuai reaksi keras dari warga Kampung Bustaman. Salah satu tokoh masyarakat, Ayah Hari, mengungkapkan kekecewaannya terhadap kebijakan tersebut.
"Semua warga bahagia bisa kerja bakti di sana. Namun, ini sangat sadis sekali ketika gudang itu ditutup dengan sanksi hukum. Kami merasa seperti kriminal di kampung sendiri," ujar Ayah Hari.
Bagi warga, penutupan RPH tidak hanya sebatas kehilangan ruang publik, tetapi juga menimbulkan dampak sosial yang lebih luas. Hal tersebut dirasakan oleh Dini, Ketua RT 04 Kampung Bustaman. Dia mengungkapkan keresahannya terhadap masa depan anak-anak di kampung tersebut.
"Sekarang anak-anak tidak punya tempat bermain. Mereka akhirnya main di jalan, padahal itu berbahaya. Kami berharap RPH bisa dibuka kembali supaya anak-anak bisa bermain dengan aman," keluhnya.
Dialog dengan Pemerintah dan Pihak PT Bhumi Pandanaran Sejahtera
Dalam upaya mencari solusi, Pekakota Forum ke-75 menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah kota, perwakilan Bappeda, Disbudpar, dan PT Bhumi Pandanaran Sejahtera.
Lutfhi Eko dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang menyampaikan pemerintah memahami urgensi ruang publik di Kampung Bustaman.
"Meskipun ruang publik terbatas, semangat warga untuk menonjolkan identitas asli Kota Semarang tetap tinggi. Kami sedang merumuskan rencana penyediaan ruang publik di kampung-kampung kota, termasuk Bustaman," jelasnya.
Kampung Bustaman dikenal sebagai salah satu kawasan bersejarah di Kota Semarang yang memiliki budaya khas serta tradisi turun-temurun.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News