Rawan Konflik Agraria, 19 Persen Tanah di Jateng Belum Tersertifikasi

Menurutnya, lahan sawah yang telah masuk LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) tidak boleh dikonversi ke fungsi lain. Nusron menyebut 87 persen dari total Lahan Baku Sawah (LBS) di Jateng harus diproteksi dalam bentuk LP2B, sesuai dengan target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional).
"Kalau sudah jadi LP2B, sawah tidak boleh diubah untuk kepentingan apa pun. Harus tetap jadi sawah selama-lamanya," ujarnya.
Berdasarkan data 2024, terdapat sekitar 1.284 hektare lahan sawah di Jateng yang diajukan untuk alih fungsi. Nusron menegaskan proses tersebut hanya bisa dilakukan dengan rekomendasi dari bupati atau wali kota, bukan keputusan sepihak dari kementerian.
Nusron mengungkap masih terdapat 348.000 hektare tanah berstatus KW 456. Tanah ini memiliki sertifikat, tetapi tidak memiliki peta kadastral atau lampiran pendukung, sehingga berpotensi menjadi sengketa.
"Cara mengatasinya, pemegang sertifikat harus daftar ulang ke kantor pertanahan, dan bila perlu, minta diukur ulang," ujarnya.
Nusron juga menyinggung tentang sinergi kebijakan pertanahan dengan lima program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yaitu ketahanan pangan, ketahanan energi, makan bergizi gratis, hilirisasi, dan pembangunan 3 juta rumah.
Dia menekankan seluruh program tersebut membutuhkan lahan, tetapi tidak boleh mengorbankan ketahanan pangan. Oleh sebab itu, pembangunan harus diarahkan ke lahan non-produktif dan dilakukan edukasi rumah vertikal di pedesaan agar tidak menggerus lahan pertanian.
"Harus dipetakan secara jelas, mana lahan untuk industri, mana untuk perumahan, dan mana yang harus tetap jadi sawah. Ketahanan pangan adalah prioritas utama," ujarnya.
Tanah-tanah tersebut belum tersertifikasi, sehingga rentan menimbulkan konflik agraria di masa depan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News