Kabupaten Semarang Ditetapkan Jadi Percontohan Penanganan Kekerasan Seksual di Jateng

Selain edukasi hukum, program ini juga memberi perhatian pada aspek kesehatan reproduksi perempuan dan anak serta pencegahan berbasis komunitas.
"Langkah kecil seperti kampanye online dan sosialisasi hukum dan kesehatan reproduksi bisa jadi upaya pencegahan yang besar," ujarnya.
Komitmen penanganan tegas juga disampaikan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Semarang. Aiptu Hendrik Pebriyanto, penyidik PPA Polres Semarang menegaskan tidak ada ruang untuk mediasi atau restorative justice dalam perkara kekerasan seksual.
"Restorative justice kami tutup. Tidak ada perdamaian, tidak ada mediasi. Bahkan jika sudah menikah sekalipun, pelaku tetap bisa divonis, seperti yang baru-baru ini terjadi, pelaku tetap dihukum 18 tahun penjara," kata Hendrik.
Data Polres Semarang mencatat, sepanjang 2024 terdapat 49 laporan kekerasan seksual yang seluruhnya tuntas diproses. Sementara hingga April 2025, sudah ada 42 laporan masuk.
"Ini bukan prestasi, tetapi cerminan fenomena gunung es. Masih banyak kasus yang tidak terungkap," ujar Hendrik.
Pemerintah Kabupaten Semarang melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) juga tengah memproses pembentukan UPTD khusus perlindungan perempuan dan anak.
Plt. Kepala DP3AKB Kabulaten Semarang Wenny Naya Kartika menjelaskan pembentukan UPTD PPA akan diatur lewat peraturan bupati dengan sistem penanganan terpadu melibatkan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, serta rumah sakit.
Pasalnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Semarang tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Apa penyebabnya?
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News