Melacak Sejarah Dugderan di Semarang: Tradisi Pemersatu Perbedaan Awal Ramadan
Istilah ngendog (bertelur) muncul karena kadang ditaruh sebutir telur di bawah ekornya yang lurus atau disela-sela empat kakinya.
Hewan mitologi Kota Semarang Warak Ngendog yang menjadi ciri khas di Dugderan. Foto: visijawatengah.jatengprov.go.id
Di sisi lain, kata warak sendiri berasal dari bahasa Arab wara’i yang berarti suci, sementara ngendog disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Ramadan, dan kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala di Idulfitri.
Bentuk Warak Ngendog mencerminkan karakter mayoritas warga Semarang asli yang beragam dengan berbagai etnisnya. Sejatinya, Warak Ngendog merupakan mainan khas anak-anak Kota Semarang. Warak Ngendog yang asli terbuat dari gabus tanaman mangrove dan bentuk sudutnya yang lurus.
Konon ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti filosofis mendalam yang menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka lurus dan berbicara apa adanya berdasarkan isi hati.
Namun, pencipta Warak Ngendog sendiri hingga saat belum tahu siapa. Budayawan Semarang Djawahir Muhammad pernah menuliskan dalam esainya bahwa kemunculan warak sebagai benda budaya atau karya seni kriya khas masyarakat Semarang pertama kali ada di Pasar Malam Sentiling di Mugas pada sekitaran 1936. Pada saat itu, Pasar Malam Sentiling diadakan untuk menyambut ulang tahun ke-100 Ratu Wilhelmina.
Dugderan 2024
Dugderan menjadi tradisi tahunan di Kota Semarang sebagai penanda akan datangnya bulan Ramadan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News