Batik Rifaiyah Batang: Warisan Spiritual yang Bertahan di Tengah Modernisasi
jateng.jpnn.com, BATANG - Di tengah Desa Kalipucang, Kabupaten Batang, suara selawat lembut terdengar menyusup dari sebuah rumah sederhana. Di dalamnya, Miftakhutin (47), atau akrab disapa Utin, duduk bersila di atas lantai, jemarinya lincah memegang canting—alat kecil seperti pena berisi lilin cair. Goresan demi goresan halus tercetak pada kain putih di hadapannya, membentuk motif yang tak hanya indah tetapi juga penuh makna.
Tradisi membatik Rifaiyah, yang diwariskan sejak abad ke-17 oleh para santriwati Kiai Haji Ahmad Rifai, seperti berbisik tentang masa lalu yang sarat nilai spiritual. Namun, di balik keindahan itu, ada kegelisahan yang Utin pendam.
“Sepuluh tahun lagi, mungkin tak ada lagi pembatik premium seperti ini. Sekarang, hanya tiga orang yang masih bertahan, dan dua di antaranya sudah sepuh,” kata Utin pelan, dikutip dari JPNN.com, Selasa (17/12).
Batik Rifaiyah bukan sekadar kain bermotif, tetapi lembaran kisah spiritual yang menolak penggambaran makhluk hidup secara utuh. Salah satu motif khasnya, Alas Roban, menampilkan parade hewan-hewan dengan tubuh terpotong, sesuai dengan ajaran komunitas Rifaiyah. Ciri lain yang membuat batik ini istimewa adalah teknik pewarnaan tiga negeri yang rumit dan pola remukan, menciptakan kesan motif yang ‘luber’, tetapi sarat estetika.
Namun, di balik keelokan itu, profesi membatik tak lagi dianggap menjanjikan oleh generasi muda. Satu helai batik tulis sederhana bisa memakan waktu sebulan, sedangkan versi premiumnya bahkan membutuhkan waktu hingga satu tahun.
“Dulu harganya cuma Rp750 ribu. Tak cukup untuk biaya produksi,” tutur Utin.
Kini, Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tunas Cahaya mematok harga lebih layak, Rp 1,2 juta untuk batik biasa, hingga Rp 5 juta ke atas untuk batik premium. Harga itu dianggap wajar mengingat keindahan yang lahir dari proses panjang dan ketelitian luar biasa.
Antara Tekad dan Keengganan Generasi Muda
Batik Rifaiyah bukan sekadar kain bermotif, tetapi lembaran kisah spiritual yang menolak penggambaran makhluk hidup secara utuh.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News