Batik Rifaiyah Batang: Warisan Spiritual yang Bertahan di Tengah Modernisasi
Meski menjadi bagian dari sejarah dan kebanggaan Kabupaten Batang, regenerasi pembatik Rifaiyah kini seperti berhadapan dengan dinding tebal. Contohnya adalah Umriyah (85), atau Ma Si’um, salah satu pembatik senior yang masih bertahan.
Dengan tangan renta dan mata yang tak lagi setajam dulu, dia masih bisa menyelesaikan satu hingga dua batik tulis dalam sebulan. “Dari batik, saya bisa menghidupi anak-anak, menyekolahkan mereka sampai ke pondok pesantren,” kata Ma Si’um.
Namun, putri-putrinya tak tertarik melanjutkan jejaknya. “Sekarang susah cari uang dari batik. Lama prosesnya, tapi untungnya sedikit,” ujar Muthola’ah (37), anak bungsu Umriyah.
Bagi para pembatik tua seperti Utin dan Ma Si’um, batik adalah lebih dari sekadar pekerjaan. Di setiap guratan lilin panas itu, ada jiwa, ada doa, dan ada cerita tentang keteguhan hidup. “Batik itu hidup, Ma’e,” kata Muthola’ah lirih, seakan menggambarkan batik sebagai jiwa yang terus berdetak meski nyaris sekarat.
Masih Ada Harapan
Di tengah kegalauan para pengrajin, secercah harapan muncul dari SMKN 1 Warungasem. Melalui program Desain dan Produksi Busana, sekolah ini berusaha menjaga api tradisi batik Rifaiyah tetap menyala dengan pendekatan modern. Teaching Factory (TEFA) di sekolah ini mengajarkan siswa menggabungkan teknik batik tradisional dengan teknologi desain digital dan mesin printing.
“Kami ingin siswa belajar langsung dari para pengrajin Batik Tulis Batang. Dengan begitu, mereka bisa merasakan sendiri bagaimana proses ini mengandung nilai budaya yang tinggi,” ujar Erwan, Kepala Program Desain dan Produksi Busana SMKN 1 Warungasem.
Showroom batik karya siswa hingga runway kecil untuk memamerkan desain mereka menjadi simbol bahwa batik bisa tetap relevan di era modern.
Batik Rifaiyah bukan sekadar kain bermotif, tetapi lembaran kisah spiritual yang menolak penggambaran makhluk hidup secara utuh.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News