Gebyuran Bustaman Jelang Ramadan, Tradisi Ratusan Tahun Warisan Leluhur Kampung
Ratusan warga yang hendak ikut perang air melumuri wajah mereka dengan bedak terlebih dahulu. Selanjutnya, lumuran bedak itulah yang akan dibersihkan dengan tradisi gebyuran tersebut.
Gebyuran Bustaman dimulai setelah salat Asar. Suara bedug dan kentungan masjid menandai perang air dimulai.
Air yang dibungkus plastik warna-warni pun melayang dari tangan-tangan warga. Peserta Gebyuran Bustaman terdiri dari berbagai kelompok umur.
Baik anak-anak maupun orang tua saling melemparkan air hingga basah kuyup. Tradisi perang air itu baru berakhir mengelang Magrib.
Sesepuh Kampung Bustaman, Hari Bustaman, mengatakan warga memaknai tradisi gebyuran itu sebagai prosesi penyucian diri sebelum memasuki Ramadan.
“Badan basah kuyup disiram air untuk menghapus kesalahan dan dosa," kata Hari.
Keturunan Kiai Bustam itu mengatakan gebyuran tersebut sudah dilakukan sejak 1743. Tradisi itu juga untuk menghormati Kiai Bustam yang telah membuat sumur di kampung itu.
"Sampai sekarang sumur itu masih dimanfaatkan warga. Sumur itu sudah berumur 279 tahun lebih," tutur Hari.
Kiai Kertoboso Bustam mewariskan tradisi jelang Ramadan. Tradisi dari abad ke 18 itu dikenal sebagai Gebyuran Bustaman.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News