Dari Solo Menembus UNESCO, Sejarah yang Tak Sekadar Euforia

Obrolan Non Formal Rahayu Supanggah
Peristiwa-peristiwa unik pun menghiasi pengajuan gamelan ke UNESCO. Aton pun bercerita saat Direktur Jendral Kebudayaan Hilmar Farid memenuhi undangan Pascasarjana ISI Surakarta untuk menjadi ketua penguji salah seorang mahasiswa pasca di Pacitan, ada obrolan non formal antara Rahayu Supanggah dengan Hilmar.
“Pak Panggah cerita bahwa dia punya obsesi terhadap gamelan, punya keinginan tentang gamelan festival maupun UNESCO. Disambut baiklah oleh Pak Hilar dan akhirnya direkomendasikan untuk ke UNESCO,” kata pria yang pernah menjadi Direktur Pascasarjana ISI Surakarta itu.
Meski telah mendapat lampu hijau untuk mengajukan ke UNESCO pada 2019, tim pengusul gamelan harus bersaing dengan pengusul lain, yakni Reog Ponorogo, Tempe, Seni Lukis Klasik Bali, dan Kolintang.
“Akhirnya kami bersaing mempresentasikan itu, diuji oleh beberapa penguji dari kementerian itu, sampai dua kali. Terakhir pada 2019. pada akhirnya gamelan lah yang diputuskan oleh negara, untuk diusulkan ke UNESCO,” papar dia.
Menuju UNESCO 2021, Bungkus!
Setelah ditetapkan untuk maju ke UNESCO, persoalan nama gantian menjadi petimbangan. Faktanya alat musik gamelan tidak hanya ada di Surakarta dan Yogyakarta saja, tetapi juga ada di Jawa Barat, Lombok, Bali, Sumatera, dan Kalimantan.
“Monggo mau menggunakan gamelan nusantara atau gamelan Indonesia. Akhirnya setelah diputuskan itu ditindaklanjuti oleh kementerian membuat tim baru dengan tetap mempertahankan tim lama dari Surakarta,” papar Aton yang matanya mulai berkaca-kaca.
Ketua Tim Penyusun Draf Pengajuan Gamelan ke UNESCO Aton Rustandri Mulyana memiliki pesan penting seusai Gamelan diakui dunia.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jateng di Google News